Pembangunan jalan raya Pos Anyer-Panarukan di masa kepemimpinan Gubernur Jenderal merupakan sebuah tonggak sejarah yang sangat penting dalam perkembangan infrastruktur di Hindia Belanda pada abad ke-19. Jalan raya ini menjadi simbol kemajuan dan modernisasi yang dibawa oleh pemerintahan kolonial Belanda di wilayah tersebut.
Sejarah pembangunan jalan raya Pos Anyer-Panarukan dimulai pada tahun 1808 ketika Gubernur Jenderal Daendels memerintahkan pembangunan jalan raya sepanjang 1000 km dari Anyer hingga Panarukan. Proyek ini sangat ambisius dan membutuhkan tenaga kerja yang besar. Namun, berkat ketekunan dan keberanian para pekerja, akhirnya jalan raya ini berhasil selesai dibangun pada tahun 1810.
Menurut Prof. Soedibyo, seorang sejarawan yang ahli dalam studi kolonialisme, pembangunan jalan raya Pos Anyer-Panarukan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian dan politik di wilayah tersebut. “Jalan raya ini mempermudah transportasi barang dan manusia antara pelabuhan-pelabuhan utama di Jawa Barat dan Jawa Timur, sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan di kedua wilayah tersebut,” ujarnya.
Selain itu, pembangunan jalan raya ini juga memperkuat kekuasaan pemerintah kolonial Belanda atas wilayah Hindia Belanda. Menurut Catatan Residen Banten pada tahun 1810, “Dengan adanya jalan raya Pos Anyer-Panarukan, pemerintah kolonial dapat lebih mudah mengawasi dan mengontrol wilayah-wilayah penting di pulau Jawa.”
Namun, tidak semua orang setuju dengan dampak positif yang dibawa oleh pembangunan jalan raya ini. Menurut aktivis sejarah, Ahmad Ridwan, “Pembangunan jalan raya Pos Anyer-Panarukan juga membawa dampak negatif terhadap masyarakat pribumi yang tinggal di sepanjang jalan tersebut. Mereka dipaksa untuk bekerja sebagai buruh paksa dalam proyek pembangunan ini dan mengalami penderitaan yang besar.”
Dengan demikian, pembangunan jalan raya Pos Anyer-Panarukan di masa kepemimpinan Gubernur Jenderal tidak hanya merupakan sebuah prestasi teknis yang luar biasa, tetapi juga memiliki dampak yang kompleks terhadap masyarakat dan politik di wilayah Hindia Belanda pada saat itu. Sejarah ini menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk memahami bagaimana infrastruktur dapat menjadi alat kontrol dan eksploitasi dalam konteks kolonialisme.